FGD Kajian Budaya Tak Benda Ruwatan Sukerto - Kamis 25 September 2025

Kamis, 25 September 2025, bertempat di rumah makan Gendal-gendul Bagian Kesejahteraan Rakyat Setda Kabupaten Bantul melaksanakan kegiatan FGD (forum groub discussion)Kajian Budaya Tak Benda Ruwatan Sukerto. Kegiatan dibuka oleh Bapak Hermawan Setiaji, S.I.P, M.H., selaku Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat, Setda, Kabupaten Bantul, Beliau menyampaikan peran aktif Bapak dan Ibu undangan sangat membantu kajian ini, dimana Bantul adalah bagian dari DIY yang sarat dengan budaya. Maka selaku warga Bantul dan DIY layaknya melestarikan kebudayaan, salah satunya budaya tak benda, khususnya Ruwatan Sukerto. tenaga ahli dalam kegiatan ini yaitu bapak Iriana Famuji W., S.Pd., M.Pd.  Beliau menyampaikan bahwa ada beberapa ruwatan selain ruwatan sukerto, seperti ruwatan dengan wayang dan ruwatan rasulan. Kegiatan ruwatan di bantul terus berjalan sampai saat ini, diharapkan kegiatan juga menggandeng tokoh akademis, budaya, pemerintahan daerah, dan lain sebagainya. Ruwatan Sukerto melibatkan manusia, yang diruwat adalah menusia, sedangkan Ruwatan Sasono merupakan ruwatan yang melibatkan wilayah atau tempat, misalnya bersih desa atau bersih kota. 

Narsum pertama Bapak Bapak Widihasto Wasana Putra (Raden Wedono Hasto Prakosa), mengatakan Bahwa budaya jawa sangat erat kaitannya dengan simbol. Simbol dalam budaya jawa sangat luas, namun sarat akan makna, misalnya  tumpeng, penggunaan jarik sesuai dengan motif karena memiliki motif -motif, sajen, dan lain sebagainya. Setiap simbol memiliki arti dan tujuan yang berbeda.  Salah satu syarat Ruwatan Sukerto adalah pagelaran wayang kulit yang dilaksakan pada siang hari bukan malam dan seharusnya acara selesai sebelum adzan maghrib. Hal tersebut bermakna agar mendapatkan penerangan dalam hidup orang yang diruwat. Ruwatan Sukerto bertujuan untuk menghapus kesialan agar tidak bernasib buruk, maka dari itu perlu disucikan. Ruwatan Sukerto di Bali disebut melukat, substansinya sama yakni sarat dengan doa dan harapan untuk lebih baik, yang membedakan adalah syarat dan hal-hal lain yang dibutuhkan untuk ritual. Ruwatan Sukerto sendiri melibatkan 135 kategori salah satunya anak ontang-anting, kembang sepasang, dan lain sebagainya.

Narsum kedua Bapak Muhammad Jazir, Asp.  menjelaskan Ruwatan Sukerto sebagai upaya untuk mengingatkan anak untuk tidak lengah terhadap waktu dalam bentuk permohonan dan doa yang dikemas dalam ritual tradisi Ruwatan Sukerto. Dalam budaya jawa meyakini bahwa ada beberapa anak yang lahir dengan nasib yang kurang beruntung atau sial. Ruwatan Sukerto ini adalah salah satu upaya untuk mensucikan anak dari nasib buruk, sebab sebagai manusia kita tidak akan bisa mengetahui kapan hari sial akan terjadi. Dengan dilaksanakannya Ruwatan Sukerto ini diharapkan anak dapat lebih mawas diri, menahan hawa nafsu, dan tidak lengah terhadap waktu;

Menahan hawa nafsu merupakan tantangan yang seharusnya dapat dikelola dengan baik oleh semua manusia, karena rusaknya jagat raya sebagian besar karena manusia yang tidak mampu menahan hawa nafsu. Hawa nafsu disini bermakna keserakahan, sikap tidak pernah puas, ingin menang sendiri. Bahkan ketika menjadi pemimpin akan sangat rentan jika tidak bisa menahan hawa nafsunya;

Perspektif Agama Islam dalam memandang tradisi budaya tak benda, Ruwatan Sukerto sebenarnya dengan substansi yang sama, disebut dengan ruqyah, rasulan (tradisi di Gunung Kidul). Rasulan ini merupakan mengikuti jejak Rasul dalam membersihkan desa yang dipercaya masyarakat mendatangkan ketentraman setelah melakukan sedekah berupa doa dan menggunakan seseji sebagai simbolik memohon kepada Tuhan.